Metana pada gas hidrat, layaknya pada gas alam pada umumnya, berasal dari material organik yang mengalami pengendapan. Metana ini lalu bermigrasi hingga bertemu dengan air pada zona dimana kondisi pembentukan gas hidrat dimungkinkan. Zona dimana kondisi pembentukan gas hidrat dimungkinkan dinamakan Gas Hydrate Stability Zone (GHSZ) (Lehmköster, 2014). Keberadaan Gas Hydrate Stability Zone atau zona kestabilan gas hidrat pada suatu lokasi dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur dari lokasi tersebut.
Pembentukan gas hidrat (Lehmköster, 2014)
Gradien geotermal menyebabkan temperatur selalu meningkat seiring dengan kedalaman. Dapat dilihat bahwa zona-zona kestabilan gas hidrat (kotak dengan garis putus-putus) ada pada kedalaman dimana temperatur dari lokasi (kurva biru) lebih rendah dari temperatur maksimal kestabilan gas hidrat (kurva oranye).
Gas Hydrate Stability Zone (Beaudoin, Waite, Boswell, & Dallimore, 2014)
Pada daerah permafrost, lokasi zona kestabilan gas hidrat berada pada bagian bawah permafrost hingga ke lapisan sedimen yang tidak beku. Pada dasar laut, lokasi zona kestabilan gas hidrat berada pada dasar laut hingga ketebalan 300-500 m dari dasar laut (Beaudoin, Waite, Boswell, & Dallimore, 2014).
Sebaran Gas Hidrat pada Hydrate-Bearing Sand di seluruh dunia (Beaudoin, Dallimore, & Boswell, 2014)
Manfaat Gas Hidrat
Produk yang akan dihasilkan dari pengembangan gas hidrat salah satunya adalah gas metana. Gas metana ini adalah komponen terbesar dalam gas alam dimana umumnya gas alam terdiri dari 70-90% metana (Abu Bakar & Ali, 2010), sehingga kita dapat melihat manfaat penggunaan gas metana dengan meninjau manfaat penggunaan gas alam.
Gas alam sendiri dimanfaatkan di berbagai sektor. Gas alam dapat digunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkitan listrik. Gas alam juga dapat digunakan sebagai bahan bakar dan juga bahan baku dari proses industri, dimana proses industri yang dapat menggunakan gas alam diantaranya adalah produksi bahan kimia, pupuk, dan produksi hidrogen. Dalam sektor rumah tangga dan sektor komersial (bisnis), pemanfaatan gas alam adalah untuk memasak, untuk pemanasan (heating), dan bahan bakar alat-alat pendinginan (cooling). Gas alam juga dapat digunakan sebagai bahan bakar moda transportasi (U.S. Energy Information Administration, 2021).
Di Indonesia sendiri, gas alam paling banyak digunakan di sektor pembangkitan listrik (52%) dan sektor industri (47%) dan sisaanya (~0.9%) digunakan dalam sektor rumah tangga dan transportasi. Gas alam dimanfaatkan dalam sektor pembangkitan listrik sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) sebagai pemikul beban menengah (intermediate load) dan bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebagai pemikul beban puncak (peak load) (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2020). Mayoritas gas alam di sektor industri digunakan dalam industri logam, sebagai bahan baku pada industri pupuk, dan industri keramik (Dewan Energi Nasional, 2019).
Pemanfaatan gas alam di Indonesia (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2020)
Pembangkit listrik dengan bahan bakar gas alam sendiri memiliki emisi yang lebih rendah dari pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Berdasarkan data tahun 2019, ditemukan emisi CO2 dari PLTU adalah 2257 pounds per Megawatt-hour (MWh) sementara emisi CO2 dari pembangkit listrik dengan bahan bakar gas adalah kurang dari setengahnya yaitu di angka 976 pounds per Megawatt-hour (MWh) (U.S. Energy Information Administration, 2021). Amerika Serikat sendiri sudah merasakan manfaat bahwa emisi CO2 pada sektor pembangkitan listrik di Amerika Serikat mengalami penurunan sebagai hasil dari melakukan transisi dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara menjadi pembangkit listrik berbahan bakar gas sejak 2011 (U.S. Energy Information Administration, 2020)Penurunan emisi CO2 di Amerika Serikat sebagai akibat transisi pembangkit listrik (U.S. Energy Information Administration, 2021)
Dengan Menurunnya Emisi Karbon dioksida CO2, berarti Gas Hidrat berperan dalam mereduksi Laju Pemanasan global dan Perubahan Iklim serta Mendorong energi bersih yang ramah lingkungan dalam menopang kualitas udara menjadi lebih baik.
Produk lain dari pengembangan gas hidrat adalah air. Air yang terproduksikan dari eksploitasi gas hidrat juga diharapkan dapat membantu menangani masalah kekurangan air (Partain, 2021).
Potensi gas hidrat di Indonesia masih berstatus sumber daya spekulatif, dengan besaran volume gas pada kondisi standar sekitar 850 triliun cubic feet (850 TCF) yang mana jika dituliskan dalam angka adalah 850000000000000 cubic feet. Besaran sumber daya gas hidrat menurut data PT Pertamina dalam situs kementerian ESDM RI lebih besar lagi, yaitu 3000 TCF (ESDM, 2020).
Gas hidrat dikategorikan sebagai Migas Non Konvensional dalam Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 5 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia sudah mempertimbangkan pemanfaatan gas hidratnya yaitu dibawah payung regulasi migas non konvensional.
Pengembangan gas hidrat di Indonesia sendiri masih dalam tahap sangat awal. Belum banyak kegiatan eksplorasi komprehensif yang dapat membuktikan cadangan gas hidrat di Indonesia. Survei yang telah dilakukan hingga saat ini masih menghasilkan data sumber daya yang bersifat spekulatif (Aslam, 2021).
Pengembangan gas hidrat di Indonesia memiliki tantangan teknologi. Negara lain yang baru sampai tahap menjalankan uji produksi (belum sampai tahap komersil) saja bahkan sudah melaksanakan riset selama 15-20 tahun lamanya. Teknologi yang digunakan juga belum dapat diterapkan di Indonesia karena masih menjadi rahasia negara dan konsorsium penelitian dari negara-negara tersebut. Kendatipun sudah bukan menjadi rahasia dan menjadi lazim digunakan, teknologi tersebut belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat contohnya pada pengembangan Shale Gas dimana karena kondisi yang berbeda, Indonesia belum dapat menerapkan secara langsung teknologi yang sudah diterapkan secara luas di Amerika Serikat. Sehingga, langkah yang terbaik adalah Indonesia harus melakukan riset sendiri untuk pengembangan gas hidratnya (Aslam, 2021).
Perlu diperhatikan juga bahwa pengembangan sumber daya migas konvensional pun belum termanfaatkan dengan maksimal. Masih banyak cekungan-cekungan di Indonesia yang belum berproduksi. Sumber daya migas non-konvensional lain yang sudah diketahui teknologinya seperti Shale Oil & Gas dan Coal Bed Methane (CBM) juga masih belum sepenuhnya termanfaatkan (Aslam, 2021).
Gas hidrat di Indonesia tersebar di berbagai wilayah meliputi lepas pantai selatan Pulau Sumatera dan Jawa dan daerah lainnya.
Sebaran potensi gas hidrat di Indonesia (ESDM, 2020)
Tidak ada komentar