Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI Dalam Mendorong Poros Maritim Dunia
Masyarakat Indonesia ada satu aspek yang seringkali dilupakan dari kesepakatan UNCLOS III itu sendiri, yaitu pengesahan tiga jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia atau ALKI yang diperuntukkan untuk menjadi jalur perlintasan kapal dan pesawat asing melalui wilayah laut dan udara Indonesia. Dengan disahkannya UNCLOS III oleh pemerintahan Indonesia pada waktu itu, Indonesia memiliki kewajiban untuk dapat menyediakan jalur perlintasan bagi kapal dan pesawat asing. Hal ini dimaksudkan karena mereka harus menempuh perjalanan melalui wilayah laut Indonesia yang kini sudah menjadi laut teritorial, yang secara hukum tidak dapat dilalui tanpa adanya peraturan-peraturan khusus yang mengatur tata cara melalui wilayah laut Indonesia tersebut. Indonesia mengusulkan pembentukan tiga jalur ALKI pada pertengahan tahun 1980-an. Usaha-usaha untuk meratifikasi ALKI di tingkat internasional dilakukan di berbagai forum internasional hingga kemudian disetujui oleh International Maritime Organization atau IMO pada tahun 1998. Pengesahan ALKI oleh IMO tidak serta-merta membuat kedaulatan Indonesia atas wilayah lautnya menjadi aman dan terjamin. Banyak ancaman yang terjadi di wilayah ALKI, baik di laut dan Indonesia, dan berbagai peluang yang seharusnya bisa lebih dimanfaatkan Indonesia agar ALKI dapat digunakan sesuai peruntukannya.
Untuk dapat memahami sejarah dari pembentukan ALKI, benang merah atau dasarnya terletak pada Deklarasi Djuanda yang dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 1957. Perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaya merumuskannya dalam rangka memperkuat persatuan Indonesia yang pada waktu itu dipandang masih terpecah secara kewilayahannya. Hal ini disebabkan oleh peraturan pemerintah kolonial Belanda yang mengatur tentang laut teritorial yaitu Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie atau TZMKO tahun 1939 menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia adalah 3 mil dari dihitung dari tiap Pulau. Hal ini tentu menjadikan wilayah Indonesia menjadi sempit dan kapal-kapal asing bebas melayari wilayah laut yang bukan laut teritorial Indonesia. Deklarasi Djuanda kemudian ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960-an sebagai konsep Wawasan Nusantara. Setelah melalui perjuangan panjang pada pertemuan UNCLOS IIII di Montego Bay pada tanggal 10 Desember 1982 Deklarasi Djuanda akhirnya dapat diterima dan Indonesia kemudian memutuskan untuk meratifikasi UNCLOS III bersama 116 negara lainnya.
Keberhasilan Indonesia untuk diakui sebagai negara kepulauan membuat Indonesia harus menanggung tanggung jawab untuk dapat merumuskan jalur yang akan digunakan kapal dan pesawat asing untuk melintas di laut teritorial Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kepentingan negara-negara yang kapal dan pesawatnya melintas di wilayah laut teritorial Indonesia. Mereka memerlukan jalur khusus untuk kapal dan pesawat udara mereka untuk melintas dari satu tempat ke tempat lain melalui wilayah teritorial Indonesia dan disini Indonesia berkewajiban untuk menyediakan hal tersebut. UNCLOS III mengatur secara umum kewajiban untuk negara kepulauan seperti Indonesia untuk menyediakan hak lintas bagi kapal dan pesawat asing untuk melintas di wilayahnya secara damai. Hak-hak melintas bagi kapal dan udara asing termasuk salah satu kesepakatan dalam UNCLOS III, yang mengatur secara khusus tentang hukum di laut secara keseluruhan. Terkait penyediaan hak transit oleh Indonesia, hal ini kemudian diimplementasikan dalam pembentukan tiga jalur ALKI oleh pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS III melalui undang-undang no. 17 tahun 1985. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan peraturan tambahan yang mengatur tentang perairan nasional Indonesia yaitu undang-undang no. 6 tahun 1996. Dalam peraturan ini diatur berbagai definisi tentang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan seperti negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan perairan nasional Indonesia adalah laut teritorial negara beserta perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Untuk mengatur tentang tata cara kapal dan pesawat asing melintasi wilayah teritorial Indonesia, pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang no. 37 tahun 2002 tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur kepulauan. Melalui berbagai perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNCLOS III dan juga melaksanakan kewajibannya dalam mengatur regulasi hukum tentang bagaimana kapal dan pesawat asing dalam melintasi wilayah Indonesia dalam perjalanannya. Regulasi yang dikeluarkan masih jauh dari kata sempurna, karena belum kuatnya kepatuhan pihak-pihak tertentu terhadap peraturan yang telah disusun oleh pemerintah Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, negara kepulauan yang diakui dalam UNCLOS III harus menyediakan jalur khusus bagi kapal dan pesawat asing untuk melintas di wilayah teritorial mereka, khususnya di laut. Negara kepulauan harus memberikan hak melintas bagi kapal dan pesawat asing. Hak melintas ini dinamakan hak untuk melakukan navigasi. Ada berbagai jenis hak navigasi yang dapat dilakukan oleh kapal dan pesawat dari suatu negara ketika melewati wilayah teritorial laut dan udara suatu negara kepulauan. Indonesia menyediakan hak navigasi bagi kapal dan pesawat asing sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam UNCLOS III, lalu mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang yang disusun agar kapal dan pesawat asing tidak akan merugikan Indonesia ketika melintas. Dalam kesepakatan UNCLOS III, tentang penentuan alur laut yang akan digunakan sebagai jalur perlintasan bagi kapal dan pesawat asing diatur dalam pasal 53 kesepakatan tersebut. Indonesia kemudian menyusun alur laut untuk pemberian hak navigasi sebanyak tiga jalur yaitu ALKI I, ALKI II, dan ALKI III. Ketiga jalur ini yang kemudian boleh digunakan oleh kapal dan pesawat asing ketika melintasi wilayah teritorial laut dan udara Indonesia.
Perlu diketahui bahwa dalam UNCLOS 1982 diatur tentang hak navigasi atau hak lintas melalui laut teritorial suatu negara, yaitu hak lintas damai (innocent passage), hak lintas transit (transit passage), dan hak lintas alur laut kepulauan (archipelagic sea-lanes passage). Hak pertama dan ketiga yaitu hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan yang biasanya digunakan oleh kapal dan pesawat asing ketika melintas alur laut yang sudah ditentukan oleh negara tertentu, khususnya negara kepulauan. Untuk menjamin keselamatan pelayaran, negara yang wilayah lautnya akan dilalui oleh kapal-kapal asing kemudian menyusun alur laut dan skema pemisah lalu lintas laut (sea-lanes and traffic separation schemes). Dalam pasal 53 kesepakatan UNCLOS selain dijelaskan tentang ketentuan untuk mengatur alur alur laut, dijelaskan juga tentang hak bagi negara kepulauan untuk mengatur wilayah khusus yang akan digunakan sebagai rute bagi pesawat-pesawat asing. Rute ini khusus untuk wilayah laut di atas alur laut negara yang bersangkutan. Indonesia dalam menetapkan ALKI mengatur ketentuan untuk perlintasan kapal dan pesawat sekaligus.
Berdasarkan penjelasan di atas, penyusunan ALKI oleh Indonesia tidak dilakukan dalam waktu singkat. Indonesia mempersiapkannya dengan perlahan, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama di dalam UNCLOS III. Indonesia sendiri baru dapat meratifikasi UNCLOS III di tahun 1985, dua tahun setelah UNCLOS III disahkan dalam pertemuan di Jamaika di bulan Desember 1985. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, melalui undang-undang no. 17 tahun 1985, Indonesia secara resmi meratifikasi kesepakatan UNCLOS III. Pekerjaan berikutnya bagi Indonesia adalah menyusun alur laut bagi kapal dan pesawat asing yang akan melintasi wilayah Indonesia. Penetapan alur laut oleh pemerintah Indonesia memakan waktu yang cukup lama, karena harus dilakukan penyusunan kebijakan yang memperhatikan kepentingan masyarakat internasional. Penyusunan ALKI sendiri baru dimulai di tahun 1991 oleh TNI Angkatan Laut atau TNI AL. Dalam Forum Strategi keempat TNI AL, ada usulan untuk membentuk alur laut sebanyak 3 jalur dari sekitar 11 alur alternatif. Penyusunan ALKI ini juga didasarkan pada pada aspek keamanan dan pertahanan nasional dan juga pertimbangan keamanan kapal-kapal yang akan melintas di jalur ALKI yang akan ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Pada awalnya konsep tentang ALKI dikenal dengan nama Makalah Ajakan.
Setelah konsep awal ALKI telah disepakati, kemudian Indonesia memulai usaha diplomatik bilateral dan multilateral agar ALKI dapat disetujui oleh negara lain. Diskusi bilateral dilakukan dengan berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan Jepang. Di forum multilateral, Indonesia pertama kali membicarakan tentang konsep ALKI secara tidak langsung dalam sidang Sub-Committee of Safety of Navigation atau NAV-IMO pada tahun 1991. Diskusi tentang pemantapan konsep ALKI di dalam negeri juga terus dilakukan oleh berbagai pihak. Pada tanggal 17–19 Januari 1995 dalam rapat kerja nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri dan dihadiri pula oleh perwakilan dari berbagai instansi pemerintahan dan sipil di Cisarua, disepakati pembentukan tiga jalur ALKI yang melewati arah utara ke selatan dan sebaliknya di perairan teritorial Indonesia. Usulan tentang pembentukan ALKI dari timur ke barat sempat dicetuskan oleh Amerika Serikat dalam pertemuan bilateral dengan Indonesia di tahun 1991, namun usulan ini ditolak mentah-mentah oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia menganggap usul Amerika Serikat tidak mengikuti ketentuan kesepakatan UNCLOS III.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah alur terbuka yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk dilalui kapal-kapal asing yang melintasi wilayah laut Indonesia berdasarkan konvensi hukum laut internasional. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudra Pasifik di utara, dan Samudra Hindia di selatan Indonesia.
Semua kapal dan pesawat udara asing yang hendak melintas ke utara atau ke selatan harus melalui alur laut yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menyimpang, selama tidak ada bahaya navigasi pada alur yang sedang dilewati. Penetapan alur laut ini dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat berjalan terus menerus dan berlangsung dengan cepat tanpa hambatan jika sudah memenuhi pedoman yang berlaku. Alur Laut Kepulauan Indonesia merupakan suatu pedoman supaya tidak terjadi pelanggaran saat kapal-kapal asing sedang berlayar melintasi wilayah perairan Indonesia.
Alur Laut Kepulauan Indonesia terbagi sebagai berikut:
- ALKI I untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.
- ALKI II untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok.
- ALKI III-A untuk pelayaran dari Samudra Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai. Laut Sawu.
- ALKI III-B untuk pelayaran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Leti.
- ALKI III-C untuk pelayaran dari Samudera Pasifik ke Laut Arafura atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda.
- ALKI III-D untuk pelayaran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu.
- ALKI III-E yang menjadi satu dengan Alur Laut Kepulauan IIIA pada titik IIIA-2,untuk pelayaran dari Samudera Hindia ke Laut Sulaesi atau sebaliknya, melintasi Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda, Laut Seram, Laut Maluku atau untuk pelayaran dari Laut Timor ke Laut Sulawesi atau sebaliknya, melintasi Selat Leti, Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku atau untuk pelayaran dari Laut Arafura ke Laut Sulawesi atau sebaliknya, melintasi Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku.
Setiap kapal dan pesawat udara asing yang melintasi ALKI harus memenuhi ketentuan di bawah ini:
- Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.
- Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut.
- Kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
- Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.
- Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia.
- Semua kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar-mandir, kecuali dalam hal force majeure atau dalam hal keadaan musibah atau memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dalam keadaan musibah.
- Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.
Tidak ada komentar