Hutan Mangrove Indonesia Menyimpan 3,1 Miliar Ton Karbon
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini, konversi mangrove berkontribusi terhadap hampir 200 juta ton CO2 yang masuk ke atmosfer, setara dengan penggunaan listrik di lebih dari 35 juta rumah selama satu tahun.
Pemerintah Indonesia telah dengan berani berkomitmen untuk merestorasi 600.000 ha mangrove pada tahun 2024 – ambisi restorasi mangrove terbesar di dunia hingga saat ini. Namun, restorasi mahal - rata-rata $ 1.640 hingga $ 3.900 per hektar di Indonesia - dan telah mengalami tingkat kegagalan yang tinggi di seluruh dunia. Oleh karena itu, konservasi ekosistem yang sehat harus diprioritaskan daripada restorasi. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional Indonesia (2022), lebih dari 90 persen mangrove Indonesia berada dalam kondisi baik.
Indonesia merupakan rumah bagi 3,5 juta hektar mangrove, atau sekitar 23% dari seluruh mangrove di dunia, dengan spesies mangrove yang juga paling beragam dengan 92 spesies sejati. Sayangnya, Indonesia mengalami kehilangan mangrove yang signifikan setiap tahunnya. Sebagian besar kehilangan didorong oleh alih fungsi lahan untuk budi daya perairan, misalnya untuk udang, di Kalimantan dan Sulawesi. Sebab lainnya adalah untuk alih fungsi ke perkebunan kelapa sawit dan pengembangan pesisir untuk perluasan wilayah perkotaan.
Ekosistem ini memberikan perlindungan di garis pantai dari bencana terkait iklim dan bencana lainnya seperti badai dan tsunami serta mengurangi risiko banjir, genangan, dan erosi. Mangrove Indonesia juga membantu memitigasi dampak perubahan iklim karena menyimpan karbon dalam jumlah besar – yakni 3,1 miliar ton – setara dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sekitar 2,5 miliar kendaraan yang dikendarai selama satu tahun.
Pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan perlindungan mangrove, misalnya dengan memperkenalkan rencana tata ruang, sebuah sistem untuk menyelesaikan konflik penggunaan lahan dan menyeimbangkan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dengan menetapkan zona untuk penggunaan khusus. Pemerintah juga telah membuat kemajuan substansial dalam memperluas Kawasan Konservasi Perairan menjadi lebih dari 23 juta. Menurut laporan Bank Dunia berjudul Laut untuk Kesejahteraan, perluasan moratorium konversi hutan primer untuk mencakup mangrove dapat dilakukan sebagai bagian dari upaya konservasi mangrove.
Selain upaya konservasi, pada tahun 2020, pemerintah menetapkan target ambisius untuk merehabilitasi 600.000 hektar mangrove pada tahun 2024. Pemerintah juga telah memasukkan restorasi mangrove padat karya sebagai bagian dari Program Pemulihan Nasional. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) diberi mandat untuk mengkoordinasikan kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove untuk mendukung rehabilitasi mangrove di seluruh provinsi di Indonesia.
“Mangrove memberikan manfaat yang sungguh banyak bagi masyarakat. Mangrove melindungi masyarakat dari dampak perubahan iklim dan menghasilkan pendapatan melalui ekowisata dan produk-produknya, seperti kepiting bakau, sirup, dan kerupuk. Karbon yang tersimpan pada mangrove juga dapat diperdagangkan, dan manfaatnya perlu dipastikan agar menjangkau masyarakat pesisir untuk menghasilkan insentif bagi pengelolaan mangrove yang berkelanjutan,” ujar Nani Hendiarti, Deputi Menteri Koordinasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemenko Marves. “Kita semua perlu bekerja bersama – pemerintah, CSO, sektor swasta, dan masyarakat – untuk melindungi mangrove bagi Indonesia yang lebih sejahtera.”
Pada Oktober 2020, LIPI meluncurkan MonMang, sebuah aplikasi ponsel yang memungkinkan masyarakat untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data mangrove. Memanfaatkan peran masyarakat untuk memantau mangrove di wilayah mereka masing-masing sangat penting, mengingat luasnya wilayah mangrove di Indonesia.
Masyarakat di wilayah pesisir dapat mengirimkan data mangrove secara real-time ke aplikasi, menjembatani kesenjangan antara upaya penelitian warga dan laboratorium. Data ini kemudian dianalisis lebih lanjut untuk membantu menginformasikan data indeks kesehatan mangrove.
“Masyarakat yang menggunakan MonMang, mereka tidak hanya peneliti, tetapi juga mereka yang peduli dengan konservasi mangrove. Mereka menggunakan MonMang untuk dengan mudah menganalisis kesehatan mangrove di wilayahnya masing-masing,” ujar I Wayan Eka Dharmawan, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI.
Pemutakhiran peta mangrove nasional menggunakan SNI 7717-2020 tentang Spesifikasi IG Mangrove, dimana kelas tutupan tajuk diubah menjadi 3 kelas, yaitu:
- mangrove lebat (70 - 90%),
- mangrove sedang (30 - 70%), dan
- mangrove jarang (0 - 30%)
Adapun pengelompokkan potensi habitat mangrove terbagi kedalam 5 (lima) kelas, yaitu area terabrasi, mangrove terabrasi, lahan terbuka, tambak, dan tanah timbul (akresi).
Berdasarkan hasil pemutakhiran PMN, telah dipetakan sebaran mangrove eksisting maupun sebaran potensi habitat mangrove. Luas mangrove eksisting 3.364.080 Ha, yang terdiri dari:
- Mangrove lebat seluas 3.121.240 Ha,
- Mangrove sedang seluas 188.366 Ha, dan
- Mangrove jarang seluas 54.474 Ha.
Adapun luas total potensi habitat mangrove, yaitu lahan yang secara karakteristik sesuai untuk habitat mangrove namun kondisi saat ini tidak terdapat vegetasi mangrove mencapai 756.183 Ha yang terdiri dari :
- Tambak seluas 631.802 Ha,
- Tanah timbul seluas 56.162 Ha,
- Lahan terbuka seluas 55.889 Ha,
- Mangrove terabrasi seluas 8.200 Ha, dan
- Area terabrasi seluas 4.129 Ha.
Pada akhirnya, diperlukan upaya bersama untuk mencapai konservasi dan restorasi mangrove. Pengelolaan mangrove secara berkelanjutan akan mendukung masyarakat pesisir seperti Konstantinus, berkontribusi pada pemulihan yang hijau dan tangguh di wilayah pesisir, dan mendukung Indonesia untuk memitigasi dampak perubahan iklim.
Tidak ada komentar