InaTEWS merupakan sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki Indonesia yang mampu meberikan peringatan dini tsunami dalam waktu lima menit setelah kejadian gempabumi yang berpotensi mengakibatkan tsunami. InaTEWS dirancang setelah kejadian gempabumi-tsunami fenomenal yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Konsep InaTEWS ini sendiri dibangun dengan melibatkan 18 institusi pemerintah diantaranya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek), Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara Lingkungan Hidup (LH), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Institut Teknologi Bandung (ITB), Polisi RI (Polri), dan dibawah payung Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Proyek ini juga dibantu secara finansial dan teknologi oleh 5 negara pendonor yaitu Jerman, Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan Prancis.
Desain InaTEWS
Sumber: LIPI
Sistem InaTEWS terdiri dari alat pendeteksi gempa dan tsunami yang dirangkai sedemikian rupa seperti pada gambar di atas. Untuk mendeteksi gempabumi digunakan jaringan pengataman darat yakni seismik dan jaringan GPS; untuk mendeteksi tsunami diperlukan jaringan pengamatan laut yakni buoys dan pasang surut (tide gauges). Data rekaman pengamatan darat dan laut dikirimkan ke Pusat Monitoring Nasional melalui komunikasi Satelit. Pada saat gempabumi terjadi, gelombang gempabumi menjalar melalui lapisan dalam bumi dan direkam oleh jaringan seismograph. Rekaman gempabumi digunakan untuk menentukan lokasi dan kekuatan sumber gempabumi. Apabila hasil analisa menunjukan bahwa parameter gempabumi yang terjadi memenuhi kriteria berpotensi menimbulkan tsunami (lokasi dilaut, magnitude > 7,0 dan kedalaman < 70 km) maka National / Regional Tsunami Warning Center (NTWC / RTWC) akan mengeluarkan dan menyebarkan warning potensi tsunami terutama ke institusi interface yang selanjutnya akan menindaklanjuti dengan penyebaran melalui berbagai media termasuk aktivasi sirine. Warning potensi tsunami ditindaklanjuti dengan konfirmasi terjadinya tsunami berdasarkan data hasil deteksi tsunami oleh sensor buoys ataupun tide gauge. Alur data InaTEWS (BPPT, 2019)
Komponen operasional dari InaTEWS terdiri dari sistem pemantauan, sistem pengolahan, dan sistem telekomunikasi. Pada tahap awal pemasangannya, komponen sistem pemantuan terdiri dari pemantauan darat oleh 160 broadband seismometer, 500 accelometer dan GPS sebanyak 40 buah serta pemantauan laut dengan 22 buah buoys dan 80 tide gauges. Sistem pengolahan terdiri dari 10 regional center dan 1 national center untuk pengolahan seismik dan masing-masing satu pengolahan untuk buoys, tide gauges, dan GPS. Serta pada sistem telekomunikasi terdiri dari upstream (pengumpulan data) dan downstream (diseminasi). Untuk mengintegrasikan seluruh data yang diperoleh, InaTEWS menggunakan sebuah sistem yang disebut dengan Decision Support System (DSS). Decision Support System (DSS) adalah sistem untuk pimpinan petugas on duty dalam mempersiapkan warning tsunami. DSS memberikan info gempa, sinyal observasi (seismik, buoys, tide gauges, GPS dan simulasi) sebagai rekomendasi keputusan dan produk warning. Keputusan itu sendiri berada ditangan manager on duty, setelah mempertimbangkan informasi dari observasi dan simulasi.
Alur logika Decision Support System (BPPT, 2019
Informasi peringatan dini tsunami disampaikan 5 menit setelah gempa terjadi. Informasi ini disampaikan oleh institusi interface melalui 5 moda yang terdiri dari aktivasi alarm, SMS, internet, website, dan konversi teks suara. Dengan adanya InaTEWS ini diharapkan mampu meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari adanya tsunami ataupun gempabumi besar di Indonesia khususnya korban jiwa.
Salah satu bukti dari kebermanfataan InaTEWS adalah saat terjadi gempabumi dan tsunami di Bengkulu pada 12 September 2007. Dalam waktu kurang dari 5 menit pasca gempa, InaTEWS berhasil menyebarkan informasi gempabumi tersebut disertai dengan warning potensi tsunami kepada institusi perantara (institusi interface) dan masyarakat, sehingga segera bisa ditindak lanjuti. Gempa ini menimbulkan tsunami kecil di beberapa tempat sepanjang pantai barat provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat. Dari pemodelan tsunami rata-rata waktu tempuh gelombang tsunami sampai ke pantai barat Sumatera sekitar 20 menit. Hal ini ditunjukkan oleh bekas jejak tsunami di daerah Bengkulu Utara dan Muko – muko yang diperoleh dari hasil survey lapangan. Dari pengamatan pasang surut air laut di Padang, menunjukkan ada perubahan pola pasang surut harian. Dapat digambarkan pada jam kejadian gempabumi, permukaan laut diawali dengan posisi surut dan dari hasil di pengamatan pasang surut terjadi perubahan yang cukup signifikan, dimana air surut sekitar 0.5 m kemudian naik mencapai 1 m. Hal ini memberikan informasi bahwa telah terjadi kenaikkan muka laut akibat gempabumi tersebut.
Animasi Model penjalaran gelombang tsunami Bengkulu 12 September 2007 oleh Yushiro Fujii (IISEE, BRI) and Kenji Satake (GSJ, AIST)
Tidak ada komentar